Thursday, September 16, 2010

English is Important, But Unfortunately...

With the notion that English is important I think every single student of English Department UNDIP agrees. I presume that they all realize that they need ability in English so as to succeed in various opportunities of advancement such as job and scholarship application, exchange student selection, etc. However, their willingness to improve their profificeny in that important language varies greatly. Some fully realize that proficiency does not come instantly and therefore work hard to improve it, while some others just seem do not care at all.

I have seen some students working hard improving their English through a variety of creative means such as practising it everyday with their peers, listening to an English broadcasting channel on a regular basis, and reading English newspapers available at the department office. They clearly show great spirit and enthusiasm. They realize that proficiency comes through practise; no matter how many vocabularies you know, how good your grammar skill is and how high your TOEFL score is, if you don't practise your English, you will never reach your highest potential.

During my leadership in EDSA last year, my committee initiated a program called English Day, in which every student and lecturer was encouraged to speak English. Through such a program, we wished to create an environment that would accomadate those who wished to practise their English and foster their English improvement. Sadly, few participated in the program. The majority of English students kept speaking in Bahasa Indonesia and Javanese language. After we resigned, the new committee continued the program and looked for a creative way to make it more succesful. However, again, only few spoke English during the English day.

Of course, neither I nor the committee of EDSA have the authority to force students to speak English. Besides, we certainly also cannot establish a system like that at my past boarding school, in which speaking in English (and Arabic) is a must and those who get caught speaking Bahasa Indonesia or regional language will be punished by the managers of the student body. At our campus, the will to practise English originates to one's will to improve it. There is no obligation, there will be neither reward nor punishment.

In an environment where many students seem unwilling to practise their English, I still believe that there are many others who are keen in improving their English. I often met some students who started conversation in English with me. Some others always texted me in English. I really appreciated their effort and it shows us that amongts those rocks, there are still some beautiful pearls and diamonds.

Now, as we realize that English is important, that proficiency in it can be reached through practice, and that our environment at English Department is somewhat unsupporting, we should have strong perseverance and maintain our enthusiasm to strive for our English improvement. We can start from very simple ways such as using English when texting our friends and having a small talk in English with our peers and lecturers. I believe that such simple yet effective ways can help us better our English and help us go far in the future.


PS: Whenever possible, please use English when texting me or starting a small talk with me . ;)

Paper-Paper Kita Daripada Dibuang, Apa Tidak Sebaiknya Di......?

Pada suatu malam, saat saya selesai merampungkan paper Ethnic and Ethnicity saya, saya memikirkan satu hal. Tugas akhir mata kuliah Ethnic and Ethnicity adalah menulis sebuah paper dengan mengambil tema Ethnic Conlfict atau Pluralism and Democracy. Ada 40 lebih mahasiswa yang mengambil mata kuliah tersebut dan saya pun berpikir tentu ada 40 lebih ide-ide brilian mahasiswa tentang kedua tema tersebut.

Saat itu kami diminta dosen pengampu untuk mengirimkan softcopy paper kami ke email beliau. Saya tidak tahu, setelah beliau terima dan koreksi akan beliau apakan paper-paper tersebut. Tentu sayang jika paper-paper yang telah dikerjakan mahasiswa dengan susah payah tersebut dimasukkan recycle bin begitu saja. Mungkin akan lebih baik bila dijadikan sesuatu yang bermanfaat, mungkin dengan diupload dan dijadikan sebuah jurnal online.

Jurnal online adalah sistem informasi yang memungkinkan kita mengunggah dan mengunduh hasil pemikiran orang lain untuk dijadikan pemerkaya wawasan kita dan referensi penulisan karya ilmiah. Konsep ini sebenarnya sudah ada di internet. Saya sendiri juga sering mengunduh jurnal-jurnal online untuk bahan bacaan di waktu senggang. Nah, concern saya, daripada paper-paper Ethnic and Ethnicity tersebut dibuang begitu saja, apa tidak sebaiknya dijadikan jurnal online agar bisa bermanfaat bagi mereka yang tertarik dan mencari referensi tentang kedua tema di atas?

Ini tentu juga bisa diaplikasikan pada mata kuliah lainnya, misal Theory of Culture, Academic Writing, Creative Writing, dan lain sebagainya. Ambil contoh Academic Writing. Bila ada essay karya mahasiswa yang cukup qualified untuk diunggah, mahasiswa lain tentu bisa mendapatkan contoh essay yang bagus karya teman mereka sendiri sehingga dapat belajar untuk meningkatkan kualitas penulisan mereka. Contoh lain misal di Theory of Culture, saat ada mahasiswa yang menulis paper tentang pentingnya inventarisasi aset-aset budaya nasional dan daerah kemudian mengunggahnya di jurnal online, mahasiswa lain atau peneliti yang mencari referensi tentang hal tersebut tentu akan terbantu dengan adanya jurnal online ini. Hal ini tentu akan sangat bermanfaat bagi dunia keilmuan dan pendidikan.

Saya mendiskusikan ide ini dengan beberapa teman sekelas dan kami cukup optimis dengan pelaksanaan ide ini hingga datang suatu berita yang kurang mengenakkan. Saat itu, dosen pengampu mata kuliah Method of Culural Research berang bukan main. Sebabnya adalah banyak mahasiswa yang melakukan tindakan plagiarisem saat mengerjakan tugas mata kuliah yang menjadi prasyarat skripsi tersebut. Jumlahnya pun tidak main-main. Lebih dari tujuh lima persen,kata beliau. Bahkan ada mahasiswa yang mengunduh skripsi dari suatu blog lalu mengganti nama penulisnya dengan namanya sendiri. Benar-benar parah.

kekhawatiran yang saya dan teman-teman saya alami kemungkinan dengan mudah terjadi. Niat sebenarnya yang ingin menyediakan informasi untuk memudahkan pembelajaran dan penelitian dapat dengan mudah dipelintir oleh tindakan plagiarisme beberapa mahasiswa yang menginginkan cara instan untuk meraih apa yang mereka harapkan. Kami sempat mendiskusikan beberapa masalah teknis untuk mencegah plagiarisme namun tetap saja ada celah untuk kesana dan mahasiswa plagiat tidak bodoh, kenyataannya mereka sangat kreatif namun sayang di jalan yang salah.

Plagiarisme dan pembajakan seolah memang sudah begitu melekat pada bangsa ini, bahkan pada golongan yang di kalangan terpelajar sekalipun. Tindakan copy-paste dari internet seakan sudah menjadi strategi jitu untuk 'menulis'paper. Parahnya beberapa kadang meng-copy-paste secara mentah-mentah, tanpa mengedit terlebih dahulu. "Nek copy paste mbok sing kreatif sithik!" begitu kata dosen pengampu Method saya. Saya pun mengurungkan niat untuk mengolah paper-paper berisi ide-ide brilian mahasiswa tersebut menjadi jurnal online, namun tetap mencari sikap terbaik agar paper-paper tersebut tidak dibuang dan menjadi sia-sia begitu saja namun tetap meminimalisir kemungkinan terjadinya plagiarisme. Ada masukan?