Wednesday, May 28, 2008

Hari Terakhirku Mengajar: Sebuah Refleksi Kecil tentang Pendidikan

SD Negeri Tegalrejo 1, Tegalrejo, Gondang, Sragen


Rabu tanggal 28 Mei 2008 adalah hari terakhirku mengajar Peace Education dan les Bahasa Inggris kelas 4 dan 5 di SD dekat rumah. Sehari sebelumnya sudah kupikirkan masak-masak keputusan ini. Alasan utamanya adalah karena adanya kesibukan-kesibukan lain yang membutuhkan waktu, tenaga, pikiran, dan konsentrasiku. Terlepas dari permintaan anak-anak didikku untuk tetap mengajar, keputusanku sudah bulat: hari itu hari terakhirku dan aku tidak akan mengajar lagi.

Sebenarnya agak berat mengatakan keputusan ini pada mereka, terlebih saat teringat betapa antusiasnya mereka mengikuti pelajaran, betapa girangnya mereka saat kuajak menyanyi bersama, dan juga keluhan-keluhan mereka tentang guru-guru mereka. Akhirnya kusadari bahwa kehadiranku bagi mereka tampaknya lebih dari sekedar guru Peace Education dan les Bahasa Inggris, namun juga sebagai tempat berkeluh-kesah, bertanya tentang pelajaran-pelajaran lain, dan saat kubaca surat-surat mereka, aku terhenyak mengetahui arti diriku bagi mereka.

Pada pertemuan sebelumnya memang kuminta mereka menulis kesan dan pesan mereka terhadapku. Formatnya bebas; bisa dalam bentuk surat, essay, atau apa saja dan kuminta mereka menitipkannya pada adikku yang duduk di kelas 5 SD. Rata-rata mereka menulis dalam bentuk surat dan saat kubaca surat-surat mereka di rumah, aku tercenung. Anak-anak itu memang mengatakan hal-hal positif tentangku dan juga memintaku untuk tetap mengajar, namun satu hal yang tidak kuduga adalah bahwa mereka sudah menganggapku seperti kakak mereka sendiri. Beberapa di antara mereka bahkan meminta untuk diperbolehkan datang berkunjung ke rumah. Ah, ternyata…

Kupikir semua ini adalah buah dari komitmenku sejak awal untuk dapat menyatu dengan mereka dan masuk ke dalam dunia mereka, dunia anak-anak yang penuh canda tawa. Ini sengaja kulakukan utamanya untuk menciptakan suasana pembelajaran yang senang dan santai, jauh dari kesan tegang, agar mereka lebih mudah menerima materi karena menurut penelitian, belajar akan jauh lebih efektif saat dilakukan dalam keadaan senang. Di satu sisi, memang kulihat anak-anak begitu mudah menyerap materi sementara di sisi lain kurasakan ada semacam kedekatan emosional antara aku selaku pengajar dan mereka selaku siswa. Kedekatan emosional yang mempengaruhi efektivitas kegiatan belajar mengajar (KBM) inilah yang, bila kutangkap dari cerita anak-anak, kurang ada antara mereka dan guru-guru mereka.

Selama ini, kata mereka, kegiatan KBM selalu terkesan terlalu formal dan serius. Hal ini diperparah dengan sikap guru yang sering menolak menjelaskan materi dan langsung menyuruh siswa mengerjakan soal-soal yang materinya belum mereka pahami. Bahkan ada seorang guru yang saat diminta menjelaskan materi, dengan santainya menjawab, “Tanya guru les saja!” Benar-benar sebuah realitas yang patut disayangkan dimana antusiasme, semangat, kekritisan, dan rasa penasaran siswa disambut dengan ketidakpedulian dan sikap acuh tak acuh guru mereka.

Memang banyak yang perlu dibenahi dari sekolah tempatku mengajar, mulai dari pelaksanaan KBM hingga efisiensi penggunaan energi-pernah kudapati dua ruang kelas yang lampunya terus-menerus menyala selama beberapa hari tanpa pernah dimatikan. Aku yakin ini terjadi tidak hanya di sekolah ini, namun juga di tempat-tempat lain, mulai dari jenjang TK hingga perguruan tinggi. Garis besarnya, masih banyak yang harus dibenahi dari pendidikan kita, tidak hanya sistemnya namun juga operasionalnya. Ini adalah PR besar untuk kita semua, atau kalau boleh disempitkan, untuk yang peduli pada pendidikan di Indonesia.