Monday, December 6, 2010

Kami Ingin Kembali Ke Sana, Namun Selagi Di Sini Kami Ingin Mengabdi

Hingga malam keempat setelah kepulangan saya dari Jepang, ingatan-ingatan tentang waktu-waktu yang saya luangkan di sana masih sangat kuat. Kenangan-kenangan tentang kehangatan berkumpul dengan host fam, seminar-seminar inspiratif bersama para profesor, gurauan-gurauan dengan teman-teman dari Korea, dan jalan-jalan bersama mahasiswa pemandu kami dari Indonesia serta teman-teman Jepang masih saja berkelebatan di kepala saya, termasuk malam ini (03/12), saat saya menghadiri kongres mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNDIP. Rasa-rasanya, hati dan pikiran saya masih tertinggal di Jepang, sementara raga saya berada di sini, di kampus FIB UNDIP, Semarang, Indonesia.

Selama acara, kadang saya masih sempat melihat foto-foto di Jepang yang saya simpan di handphone saya. Bahkan Foto adik saya Keina yang lucu dan imut pun saya perlihatkan ke teman yang duduk di samping saya. Namun selama acara pula, perlahan namun pasti saya merasa kembali ke habitat asli saya: dunia organisasi mahasiswa yang selalu berusaha menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik di lingkungan kampus. Pembahasan laporan pertanggungjawaban (LPJ) beberapa lembaga kemahasiswaaan pun semakin menyadarkan saya bahwa masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan mahasiswa dan saya merasa berkewajiban untuk ikut serta di dalamnya.

Saat pembahasan LPJ tersebut, sempat saya berpikir tentang keinginan saya untuk kembali ke Jepang. Ya, saya dan tiga teman saya memang sama-sama memiliki keinginan untuk kembali ke sana,ke negara yang telah mencuri hati kami. Namun saya berpikir, mungkin di sini, di kampus ini dan di negeri ini, ada yang lebih membutuhkan kami dan menginginkan kami untuk tetap di sini. Saya sendiri merasa bahwa mungkin ada lebih banyak hal yang bisa saya kerjakan di sini untuk perubahan yang lebih baik. Agak lama saya berpikir tentang hal ini hingga akhirnya saya kirimkan pesan singkat ke tiga teman saya tersebut yang isinya,"Perhaps we wanna come back 'there', but perhaps there are people who love&need us, & want us to stay HERE."

Ah, mungkin agak berlebihan jika saya merasa ada yang mencintai dan membutuhkan kami serta ingin kami tetap di sini. Namun bagi saya pribadi, tugas di depan masih banyak, dari hal-hal kecil misal kaderisasi mahasiswa baru hingga isu besar semacam kemiskinan dan korupsi. Saya benar-benar merasa lebih bisa memberikan sumbangsih nyata bila saya di sini. Akhirnya, di akhir acara, saya mantapkan diri saya bahwa benar saya ingin kembali ke Jepang, entah itu untuk melanjutkan studi atau sekedar berkunjung, namun saat ini selagi saya masih di sini, di kampus FIB UNDIP, di Indonesia, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk selalu menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik. Singkatnya, kami ingin kembali ke sana, namun selagi di sini kami ingin berbakti.







Thursday, December 2, 2010

Alasan Kenapa KKP untuk FIB UNDIP Harus Dipertahankan



Salah satu tema seminar internasional yang saya ikuti di Nagoya University, Jepang adalah Youth Career Formation in Japan. Presentasi dengan tema tersebut disampaikan oleh Prof. Terada, mantan dekan Fakultas Pendidikan dan Pengembangan Manusia, yang resah dengan kondisi pendidikan di Jepang yang lebih berorientasi pada teori dan pencapaian akademik sementara kurang menitikberatkan pada penyiapan peserta didik untuk dunia kerja. Walhasil, banyak peserta didik yang tidak langsung dapat diserap oleh dunia kerja dan harus menunggu lama sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan karena perusahaan sering memberikan spesifikasi persyaratan yang tidak dapat dipenuhi lulusan sekolah/ perguruan tinggi.

Untuk mengatasi hal ini, Prof. Terada memberikan solusi agar sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi di Jepang memberikan porsi lebih pada career education agar para siswa mendapatkan pemahaman mendalam dan mempersiapkan diri untuk dunia kerja, misalnya dengan program magang. Selain itu, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak terutama perusahaan-perusahaan swasta agar memberikan kesempatan pada siswa untuk magang di intansi mereka. Saat Prof. Terada menyampaikan presentasi tentang topik ini, saya langsung teringat pertemuan mahasiswa Sastra Inggris, Sastra Indonesia, dan Ilmu Perpustakaan UNDIP dengan Pembantu Dekan 1 beberapa hari sebelum saya berangkat ke Jepang, terutama karena hal yang sama juga terjadi di Indonesia, di mana banyak sarjana yang menganggur karena tidak terserap oleh penyedia lapangan pekerjaan.

Saat itu mahasiswa ramai-ramai menolak untuk diikutsertakan dalam program KKN sebagai ganti dari magang/ KKP dan lebih memilih untuk mengikuti KKP daripada KKN. Alasannya macam-macam: mulai dari pertimbangan bahwa KKP lebih akomodatif untuk mengaplikasikan ilmu mereka hingga konsekuesi-konsekuensi negatif bila mahasiswa yang sudah diterima di beberapa instansi membatalkan secara sepihak rencana magang mereka, tanpa menafikan kenyataan bahwa KKN juga memiliki banyak manfaat. Gayung pun bersambut. Rektorat memberikan kesempatan kepada mahasiswa dari tiga jurusan di atas untuk ikut KKP, sedangkan mahasiswa angkatan di bawah mereka wajib mengikuti KKN.

Bila kita melihat keputusan rekotrat ini dari kacamata poin-poin yang disampaikan Prof. Terada, akan terasa bahwa keputusan penghapusan KKP dan menggantikannya dengan KKN adalah sebuah langkah mundur. Lebih lagi bila mengingat pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Jurusan Sastra Inggris tahun lalu yang menyatakan bahwa KKP adalah sebuah terobosan dan langkah maju jurusan agar mahasiswa lebih dapat mengaktualisasikan diri serta mempersiapkan diri ke dunia kerja. Ibarat sudah maju (selama 5 tahun,karena KKP pertama kali dilaksanakan 5 tahun yang lalu) dan sekarang harus mundur lagi dengan kembali KKN.

Saya di sini sepenuhnya setuju bahwa KKN memiliki banyak manfaat baik bagi mahasiswa maupun masyarakat. Poin saya adalah, tiap tahun ada ratusan ribu lulusan perguruan tinggi yang menganggur karena tidak terserap oleh penyedia lapangan kerja, dan bila dikaitkan dengan poin Prof. Terada, bukankah sebaiknya kita mempertahankan KKP agar mahasiswa dapat mempersiapkan diri ke dunia kerja dan dengan begitu dapat segera terserap di dunia kerja sehingga tidak berbagi nasib dengan ratusan ribu sarjana yang menganggur? Bukankah memalukan jika melihat banyak alumni kita yang menganggur karena tidak laku di dunia kerja?

TEN MEMORABLE DAYS IN JAPAN: ENORMOUSLY FUN AND DEEPLY INSPIRING!




My high regard to Japan started since I was five-year-old, when I was fond of Japanese childhood heroes such as Kamen Raider and Ultraman. However, never have I thought of experiencing the very experience of Japanese life until one day when I was listening to a Japanese song, a thought came to my mind. That thought said, “I must go to Japan”. Few months later, that thought came true, and my admiration to Japan grew even higher.

We, four Indonesian students and three lecturers came to Japan through an uneasy way. We had to go through such challenges as flight delay and cancelling. At first, we missed the flight to Hongkong and then Nagoya since the plane that took us to Jakarta was delayed. Then, we had to take another route to Denpasar then Nagoya. Unfortunately, our flight from Denpasar to Nagoya was cancelled so that we were transferred to Osaka. However, we proved that behind every cloud there’s a silver lining. Because of that unexpected change, we could find new experiences such as seeing Kansai International Airport and taking the popular Shinkansen.

The joyful experience that welcomed us in Japan was also added by the hospitality of an officer of Kansai. She kindly helped us deal with the problem with our luggage that in fact went to Narita. She demonstrated impressive hospitality and astonishing wok ethics, which helped us forget our problem for a little while. Then, the trip to Nagoya with Shinkansen also kept the thought about our luggage away from us.

As for myself, the hospitality of the Japanese did not stop there. Just few hours after we arrived at Nagoya University, my host family picked me up. I spent the night mostly playing video games with my brothers Ryosuke and Haruto. The following day, we went to a park where we spent family time together. During the day, rarely did my sister Keina released my hand. She always kept me busy with running and playing hide and seek with Ryosuke, Haruto, and a neighbor’s son named Kesukei. In the evening, we went to a sushi restaurant to had dinner, during which I had an opportunity to taste various kinds of sushi. Overall, living with the Yamamura family was very touching for me mainly because they accepted as a part of their family. Thus, parting with them was very hard for me and I did wish the students could have stayed longer with their host families.

Over the next few days, we had (serious) session which was full of seminars. However, for me, the seminars were very inspiring and thought provoking. Each topic that was brought by the professors allowed me to have a broader horizon about youth, education, and culture in Indonesia, Korea, and Japan. Started by the seminar by Professor Singgih about the international school pilot project which raised many questions from the Indonesian students that mainly centered on the issue of equality in terms of quality of education in Indonesia, the program continued to the second seminar which was delivered by Professor Terada about career formation of Japanese youth. I found the second seminar was also very interesting since the issue that Prof. Terada brought was also faced by Indonesian young generation.

Meanwhile, the seminars by Professor Na and Professor Han also gave me deep understanding about Korean youth and education. Professor Na’s presentation gave a very clear view about the education in Korea while that by Professor Han gave me a deep insight about Korean youth life. To my surprise, Korean youth and Indonesian youth have many commonalities, not only in culture but also in their roles in standing in the frontline of social and political change in their respective country. I also found other commonalties Indonesian youth have with our East Asia friends during Professor Takai’s presentation which discussed the Japanese communication behavior. Over all, I enjoyed all the seminars and found it very useful in expanding my horizon and broadening my knowledge.

In addition to the home stay and seminars, we all also had fun time visiting some places in the city. Accompanied by our ‘guide’, we went to such places as Nagoya Castle, Port of Nagoya, and Sakae, where we could see beautiful sceneries and, of course, took a lot of pictures. We also spent some time shopping to buy souvenirs for our family and friends back home.

As I gained enormous learning and invaluable experience from the program, I hope this program will be held annually so that more students can have the same or even better experience. The continuation of the program in the coming years will also lead to the better cooperation among the participating universities. Lastly, I believe the learning I gained from this seminar will help me pursue my future career, go far in the future, and contribute to the betterment of Indonesian society.







More pictures are availabe at:
http://www.facebook.com/album.php?aid=247840&id=694442683