Friday, April 2, 2010

PERKEMBANGAN SASTRA ASSALAAM TAHUN 1999-2006



Saat kita berbicara tentang perkembangan sastra di Assalaam*, kita akan berbicara tentang seubuah perkembangan evolutif yang lebih cenderung bersifat seperti mode. Perkembangan ini menyangkut animo santri terhadap dunia sastra termasuk di dalamnya minat untuk membaca dan menghasilkan karya sastra. Animo ini selalu berubah hampir tiap tahunnya dan menyematkan kesan tersendiri pada tahun-tahun tersebut.

Perkembangan sastra antara tahun 1999 dan 2006 menunjukkan pasang surut yang mengesankan, menyedihkan, dan bahkan mengejutkan banyak pihak. Semuanya dimulai pada tahun. Tahun itu adalah maraknya cerpen-cerpen Islami bertemakan epos dan bersetting di daerah-daerah konflik yang melibatkan umat Islam. Buku-buku epik karya Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Izzatul Jannah ramai membanjiri Assalaam. Saat itu antologi cerpen seperti ‘Hingga Batu Bicara’ dan ‘Manusia-Manusia Langit’ sudah sangat familiar bagi santri. Pada tahun ini setiap kali diadakan perlombaan cerpen, mayoritas naskah yang masuk adalah cerpen epik yang bertemakan jihad dalam bentuk perjuangan fisik dengan setting di Maluku, Chechnya, Kosovo, Bosnia, dan Andalusia.

Hingga dua tahun berikutnya, epik Islami masih merupakan style yang dominan di Assalaam. Bahkan pada masa ini sempat didatangkan Galang Lutfiyanto dan Asma Nadia untuk mengisi workshop sastra di lantai dua kantor Assalaam.

Pada tahun ajaran 2003/ 2004, ada semacam usaha dari beberapa santru untuk menggunakan sastra sebagai sarana penyampaian empati dan kritik sosial. Di periode yang sama, ada juga usaha untuk mengalihkan kiblat sastra Assalaam dari style epik Islami ke style yang lebih ‘berat, netral, dan varatif.’ Hal ini ditandai dengan terbtnya dua cerpen tentang pendidikan di majalah Karnisa edisi 31.

Cerpen yang masing-masing berjudul ‘Joko’ dan ‘G U Gu R U Ru’ tersebut merupakan refleksi dari kepedulian santri akan fenomena sosial tentang pendidikan. Kedua cerpen tersebut juga membuang jauh-jauh tema cinta yang sebelumnya selalu menghiasi cerpen-cerpen di Karnisa. Singkatnya, kedua cerpen tersebut lebih merupakan refleksi social awareness daripada ‘promosi pengalaman cinta.’

Tahun ajaran selanjutnya , 2003/ 2004, usaha pemindahan kiblat sastra Assalaam benar-benar sangat intens. Hal ini ditandai dengan lebih didengungkannya nama sastrawan-sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma dan Danarto daripada Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Cerpen-cerpen mereka yang cenderung lebih ‘berat dan sekuler’ lebih banyak diekspos di tengah-tengah santri. Di tahun ini, juga sempat muncul rencana mendatangkan salah satu sastrawan besar Indonesia, Afrizal Malna, namun sayang rencana ini gagal direalisasikan.

Aroma sastra di tahun ini juga cenderung bersifat progresif dan radikal. Satu hal yang cukup fenomenal di tahun ini adalah dibredelnya cerpen ‘Pada Sebuah Malam di Kantor Guru Putra’ dari majalah Karnisa edisi 33. Cerpen yang sebelumnya diharapkan mampu melanjutkan proses pemindahan kiblat sastra di Assalaam ini divonis ‘terlarang’ oelh asatidz. Pembredelan tersebut merupakan tamparan keras bagi dunia kesusasteraan Assalaam dan mengecewakan banyak pihak tentunya.

Selanjutnya, tahun ajaran 2004/2005, dibentuk Forum Lingkar Pena Assalaam yang berafilisi pada Forum Lingkar Pena Solo. Sayang, sepak terjang forum ini kurang begitu terasa sehingga pembentukannya terkesan seperti hanya sebuah formalitas.

Di tahun ajaran 2005/2006, terjadi fenomena yang cukup mengejutkan. Novel-novel teen literature (teen lit). Novel-novel teen lit sangat marak di kehidupan santri. Karya sastra bacaan santri tiap harinya tidak jauh-jauh dari novel-novel semacam Friendster Freaks. Ironisnya, style ‘berat, netral, dan variatif’ pun mulai hilang. Dengung nama Seno Gumira, Danarto, dan Afrizal Malna mulai jarang terdengar bahkan hilang sama sekali. Cerpen-cerpen yang mengambil tema sosial dengan aliran semacam realsime dan supernaturalisme sudah mulai jarang ditemukan.
Tidak bisa dipungkiri memang bahwa perkembangan sastra di Assalaam akan selalu menghadirkan style baru yang menggantikan style lama. Sastra sekarang memang sudah segmented, kata Ayos Purwoaji, salah satu pegiat dan pemerhati sastra di Assalaam, namun apapun yang terjadi, penulis berharap suatu saat nanti muncul sastrawan-sastrawan sekaliber Pramoedya Ananta Toer dan Taufik Ismail dari Assalaam. Anda sanggup menjadi sebesar mereka?


*: Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Pabelan, Kartaura, Sukoharjo,
Jawa Tengah.

No comments:

Post a Comment