Friday, April 2, 2010

Wong Ndeso Tetapi Tidak Ndeso, Wong Kota Tetapi Ndeso

tukul007casinoroyaleba1.jpg

Pernah mendengar lagu berjudul Wong Ndeso yang dipopulerkan oleh Thukul Arwana? Lagu tersebut liriknya sebagai berikut:

Puas? Puas?

Yo wis ben wong arep ngomong opo

Yo wis ben aku ini memang wong ndeso

Yo wis ben arep ngomong empat mata

Yo wis ben sing penting ora kalah karo wong kota

You wis ben wong arep ngomong opo

Puas? Puas?

Ndeso, ndeso, tapi ra popo rejekine kutho

Memang tampang aku katrok

Tapi rejekine kota

Tampang nggak jadi ukuran

Kadang wajah kota rejekine ndeso

Pancen aku wong ndeso

Soal cinta aku Romeo

Buanyak cewek sing trisno

Tapi ora tak pikiri tak sobek-sobek masa bodoh

Just kidding, just for laugh

You wis ben wong arep ngomong opo

Dasar wong ndeso, tapi rejekine kutho

No problem, never mind, never mind

Memang tampang aku katrok

Tapi rejekine kota

Tampang dadi ukuran

Kadang wajah kota rejekine ndeso

Pancen aku wong ndeso

Soal cinta aku Romeo

Buanyak cewek sing trisno

Tapi ra tak pikirin tak sobek-sobek masa bodoh

Yo wis ben wong arep ngomong opo

Yo wis ben aku ini memang wong ndeso

Yo wis ben arep ngomong empat mata

Yo wis ben sing penting ora kalah karo wong kota

2x

Beberapa bulan yang lalu lagu ini sempat booming terutama di daerah Jawa Tengah. penikmatnya mulai dari anak SD dan tukang becak hingga mahasiswa dan kalangan profesional, baik orang kota maupun wong ndeso. Yang menarik bagi saya dari lagu ini adalah kejujuran penyanyi, dalam hal ini Thukul Arwana, dalam mengakui dan meng-explore ke-ndeso-annya, atau kenyataan bahwa dia adalah wong ndeso, usahanya dalam meruntuhkan stereotip (breaking down the stereotype) terhadap wong ndeso, dan fenomena sosiolinguistik dalam masyarakat yang terrefleksikan dalam lirik lagunya.

Secara terminologi, kata wong ndeso berarti orang yang tinggal atau berasal dari desa. Dalam konteks interaksi sosial, makna kata “ndeso meluas menjadi sifat atau karakter yang kampungan, dalam artian jauh dari anggapan kepatutan umum (public decency) sebagai indah atau bagus. Kata “ndeso” mencakup segi fisik, ekonomi, fashion, dan ide. Sering kita dengar di masyarakat kalimat-kalimat seperti “Tampange kok ndeso banget to?”, ”Penampilane kok ndeso ngono?”, “Cara berpikire wong ndeso iki.” Tentu ini merupakan sebuah stigmasi pada orang-orang yang tinggal atau berasal dari desa.

Dalam lagu ini, Thukul juga menyebut kata kota sebagai kata adjektif sekaligus antonim kata ndeso. Di sini, kata “wong ndeso” dibenturkan dengan kata “wong kota”, dan kata “rejekine kota” dibenturkan dengan “rejekine ndeso” hingga kesan yang ada adalah wong kota adalah orang yang tidak kampungan atau memiliki sifat yang berkebalikan dari sifat wong ndeso, dan “rejekine kota” mengandung makna rezeki yang tidak kampungan, dalam artian melimpah baik dalam kualitas maupun kuantitas. Maka beruntunglah wong ndeso yang hidup di kota, karena mereka kecipratan pelabelan positif terhadap wong kota.

Menurut saya, pelabelan “ndeso” pada orang-orang yang kampungan secara fisik, ekonomi, fashion, dan ide, dan “kota” pada orang yang sebaliknya, berawal dari perbedaan persepsi terhadap orang desa dan orang kota secara umum. Orang kota, menurut paradigma orang desa, biasanya kaya, berpenampilan bagus, dan pintar. Begitu juga sebaliknya, orang kota biasanya menganggap orang desa kurang mampu secara ekonomi, berpenampilan seadanya, dan memiliki tingkat intelektualitas dan intelegensi yang rendah. Pada akhirnya persepsi dari paradigma ini digunakan publik secara luas baik di desa maupun di kota hingga meluaslah penggunaan label “ndeso” dan “kota.”

Sebenarnya kalau kita mau melihat lebih dalam, ada generalisasi pada pelabelan ini. Kenyataannya, tidak semua orang desa memiliki sifat seperti di atas. Kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa banyak juga orang desa yang kaya, berpenampilan bagus, dan memiliki intelektualitas dan intelegensi yang tinggi. Begitu juga dengan orang kota, realitas di lapangan yang menyajikan wajah kemiskinan di pemukiman-pemukiman kumuh di kota-kota besar bahkan dapat menunjukkan sifat-sifat kampungan yang sebenarnya.

Lantas, pantaskah kita beranggapan bahwa orang desa itu pasti “ndeso” dan orang kota itu pasti “kota”? Yang harus kita lakukan selanjutnya adalah membedakan wong ndeso dan wong sing ndeso (orang desa dan orang yang ndeso atau kampungan) lalu, bisakah anda bayangkan sosok seorang wong ndeso yang tidak ndeso dan seorang wong kota yang ndeso?

No comments:

Post a Comment