Thursday, January 6, 2011

"Ciptakanlah Perubahan, Meski Hanya Perubahan Cara Pandang."

Kemarin sore (5/6/2011), saat sedang asyik mengobrol dengan dua orang teman saya, Desita Anggraeni dan Prio Hananto, seorang pengajar di kampus saya datang menghampiri kami. Awalnya Pak Sarjo (bukan nama sebenarnya) hanya menyapa kami, namun sapaan singkatnya berlanjut menjadi sebuah pembicaraan hangat yang cukup menginspirasi kami.


Kami membuka pembicaraan dengan basa-basi seputar kepindahan kampus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNDIP ke atas (Tembalang). Sedikit bercanda, saya, Desi, dan Prio mengatakan bahwa kami enggan pindah ke atas karena merasa lebih nyaman di bawah (Pleburan), selain karena letak kampus FIB Tembalang yang 'terpencil' dan adanya beberapa fasilitas yang tampaknya belum siap dipakai. Menanggapi hal ini, Pak Sarjo menjawab bahwa mau tidak mau, siap tidak siap kita harus pindah ke atas. Akhirnya terjadilah percakapan berikut:


Pak Sarjo: "Lha peraturan dari atas, dari rektorat kayak gitu. Mau gimana?"
Saya : "Kita ga bisa protes Pak?"
Pak Sarjo: "Sistemnya seperti itu. Tidak bisa diganggu gugat."
Saya : "Tapi kalo sistemnya tidak tepat dengan kondisi kita, bukankah seharusnya sistem itu diubah?"
Pak Sarjo: "Ya kalo itu, kalian ngomongnya ke Pak Agus (dekan baru FIB). Beliau orangnya terbuka dan mau mendengarkan pendapat orang lain"


Pak Sarjo lantas bercerita tentang pandangan-pandangannya tentang sistem birokrasi di kampus. Ternyata beliau sebenarnya memiliki banyak ketidaksetujuan dengan sistem yang ada, misal antara sistem senioritas dengan meritokrasi, namun kapasitasnya yang 'hanya' sebagai seorang pengajar, membuat suaranya kurang begitu didengar. Lantas bagaimana cara untuk merubahnya? Pak Sarjo menyarankan agar kami sering-sering berdialog dengan para petinggi kampus, mengomunikasikan aspirasi kami agar tidak hanya menjadi grundelan-grundelan di belakang. Bukankah menggrundel saja tidak akan menyelesaikan permasalahan?


Pak Sarjo juga bercerita bahwa dulu senior-senior kami di BEM banyak melakukan aksi-aksi untuk ditujukan untuk perubahan sistem ke arah yang lebih baik, bahkan dapat meminta transparansi dana dari TU. BEM sekarang? Ah, tidak usah membanding-bandingkan BEM yang dulu dan sekarang. Saya yakin masing-masing BEM memiliki plus minusnya. Saya juga yakin ada banyak hal yang dilakukan BEM sekarang yang tidak dilakukan BEM senior kami dulu, begitu juga sebaliknya.


Memang, ada banyak hal yang masih harus kita lakukan di kampus kita. Tentunya untuk menciptakan perubahan dan perbaikan, pertama-tama kita tidak boleh apatis. Tidak ada gunanya kita mengeluh tentang kamar mandi, tentang lab, tentang perpustakaan, tentang KRS online, jika kita tidak melakukan tindakan nyata untuk merubahnya, jika bersikap apatis pada lembaga kemahasiswaan yang sebenarnya bisa dijadikan wadah untuk menyalurkan aspirasi. Saya jadi teringat kata-kata Soe Hok Gie, "Apatisme lahir karena dua hal, kau terlalu bodoh untuk berpikir atau terlalu egois untuk perduli." Memang mengeluh saja tidak cukup, harus ada tindakan! Dan dalam melakukan tindakan untuk menciptakan perubahan, kita perlu proses, proses perlu waktu, dan waktu perlu kesabaran dan keteguhan hati.


Di akhir motivasinya, Pak Sarjo berucap,"Ciptakanlah perubahan, meski hanya perubahan cara pandang." Ya, mari kita ciptakan perubahan, meski hanya perubahan cara pandang.

No comments:

Post a Comment